Dalam sepuluh tahun terakhir, ada satu kata yang terus bergema di koridor kampus, ruang seminar, hingga obrolan santai di warung kopi para dosen dan mahasiswa pascasarjana: Scopus. Kalimatnya sering terdengar begini:
“Kalau mau S3, wajib punya publikasi di jurnal Scopus.”
“Eh, dia baru terbit di jurnal internasional Scopus, lho!”
“Naik jabatan? Jangan lupa cari Scopus dulu.”
Saking seringnya disebut, sebagian orang bahkan mengira Scopus itu adalah nama sebuah jurnal. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Scopus sebenarnya adalah sebuah basis data ilmiah internasional yang dimiliki oleh penerbit besar Elsevier. Bayangkan sebuah perpustakaan raksasa, tetapi isinya bukan novel atau komik, melainkan jutaan artikel ilmiah dari seluruh dunia. Ia bukan penerbit, bukan nama jurnal, dan bukan lembaga pendidikan. Fungsi utamanya adalah sebagai pengindeks yang mengkurasi, mencatat, dan melacak publikasi dari jurnal, prosiding konferensi, hingga buku akademik dengan standar yang ketat, semacam Google Scholar versi premium, tetapi dengan aturan main yang jauh lebih selektif.
Dalam praktiknya, Scopus memiliki tiga peran utama. Pertama, mengindeks jurnal-jurnal berkualitas tinggi yang telah melalui proses seleksi ketat. Kedua, melacak sitasi, yaitu menghitung berapa kali sebuah artikel dikutip oleh penelitian lain. Ketiga, menyediakan metrik akademik seperti h-index yang digunakan untuk mengukur produktivitas dan dampak penelitian seorang akademisi.
Lalu, dari mana muncul istilah “jurnal Scopus”? Secara teknis, istilah ini sebenarnya keliru. Tidak ada yang namanya jurnal Scopus. Yang benar adalah jurnal yang terindeks di Scopus. Namun, demi kemudahan, orang sering menyebut “jurnal Scopus” untuk menggantikan kalimat yang lebih panjang: jurnal yang masuk daftar jurnal terindeks Scopus. Jadi, istilah itu populer bukan karena tepat secara definisi, melainkan praktis dalam percakapan sehari-hari.
Mengapa Scopus begitu penting? Jawabannya terletak pada perannya sebagai “mata uang” reputasi akademik di banyak negara. Di Indonesia, misalnya, dosen yang ingin naik jabatan ke Lektor Kepala atau Guru Besar hampir selalu diwajibkan memiliki publikasi di jurnal terindeks Scopus. Mahasiswa program magister dan doktoral pun sering harus menerbitkan artikel di jurnal bereputasi internasional sebagai salah satu syarat kelulusan. Lembaga penelitian yang mengincar hibah atau insentif riset juga mengandalkan rekam jejak publikasi di Scopus sebagai modal utama. Bahkan, data dari Scopus digunakan dalam pemeringkatan universitas dunia seperti QS World University Ranking dan Times Higher Education, yang berarti pengaruhnya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada citra dan posisi kampus di kancah global.
Pada akhirnya, Scopus bisa diibaratkan sebagai panggung utama dunia akademik. Ketika penelitian Anda berhasil masuk ke jurnal yang terindeks di sana, peluang untuk dilihat, dibaca, dan diakui akan jauh lebih besar. Meski begitu, jangan sampai kita terjebak pada ambisi mengejar label “Scopus” semata. Esensi publikasi ilmiah tetap terletak pada integritas, kualitas riset, dan manfaatnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber: muji.blog.unimma.ac.id
