Belakangan ini, istilah predatory journal atau jurnal predator semakin sering saya dengar dalam berbagai forum akademik. Jurnal ini tampak seperti jurnal ilmiah biasa, tetapi sejatinya praktik penerbitannya tidak etis karena lebih berorientasi pada keuntungan finansial dibandingkan kontribusi ilmiah. Jika Anda mengetik “predatory journal” di Google, Anda mungkin akan menemukan berbagai simbol menyeramkan seperti serigala atau hiu. Simbol-simbol itu digunakan untuk menggambarkan sifat jurnal predator sebagai “pemangsa” yang siap menjerat penulis, terutama peneliti yang kurang waspada.
Saya selalu menekankan bahwa kesadaran dan kewaspadaan adalah kunci untuk menghindari jebakan ini. Ajakan tersebut tidak hanya saya sampaikan dalam forum akademik, tetapi juga melalui akun media sosial pribadi saya di YouTube, Instagram, TikTok, dan Facebook. Melalui platform-platform tersebut, saya berusaha mengingatkan pentingnya menjaga mutu publikasi ilmiah.
Apa Itu Jurnal Predator?
Publikasi ilmiah sejatinya bertujuan mempercepat penyebaran pengetahuan dan mendorong diskusi akademik yang sehat. Saya mencontohkan Open Science Framework (OSF), sebuah platform preprint gratis yang transparan dan dapat diakses bebas oleh komunitas akademik. Masalah muncul ketika ada pihak yang mengaku memberikan layanan serupa, tetapi justru memungut biaya publikasi besar tanpa standar akademik yang jelas. Inilah praktik jurnal predator.
Menurut artikel di Nature, jurnal predator adalah entitas yang lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada kepentingan ilmiah. Biasanya, mereka:
- Memberikan informasi palsu atau menyesatkan,
 - Menyimpang dari praktik editorial yang baik,
 - Minim transparansi dalam proses editorial, dan
 - Menggunakan cara agresif untuk mengundang penulis.
 
Ciri-Ciri Artikel di Jurnal Predator
Selama saya mengamati, artikel-artikel yang diterbitkan di jurnal predator biasanya memiliki kelemahan serius, seperti:
- Tidak ada kebaruan ilmiah, hanya mengulang data lama,
 - Metodologi tidak jelas atau tidak relevan,
 - Minim telaah literatur,
 - Banyak kesalahan tata bahasa dan ilustrasi buruk, serta
 - Proses review yang mencurigakan, bahkan bisa hanya dalam hitungan hari.
 
Kualitas seperti ini jelas tidak layak disebut publikasi ilmiah yang baik.
Nasional atau Internasional, Sama Saja
Banyak orang mengira jurnal predator hanya identik dengan jurnal internasional. Padahal, tidak demikian. Saya menegaskan bahwa jurnal nasional pun bisa masuk kategori predator jika:
- Tidak transparan,
 - Mengundang penulis secara agresif, atau
 - Memungut biaya tanpa proses editorial yang jelas.
 
Karena itu, kewaspadaan harus kita terapkan pada semua jurnal, baik lokal maupun internasional.
Dampak bagi Dunia Akademik
Keberadaan jurnal predator saya anggap sebagai ancaman serius, bukan sekadar masalah teknis. Dampaknya nyata:
- Merusak reputasi penulis maupun lembaga,
 - Menurunkan kualitas literatur ilmiah,
 - Membingungkan peneliti lain yang mencari referensi, dan
 - Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
 
Bagaimana Menghindarinya?
Ada beberapa langkah praktis yang selalu saya sarankan:
- Periksa reputasi jurnal – pastikan terindeks di pangkalan data kredibel (Scopus, DOAJ, Sinta).
 - Tinjau artikel yang sudah terbit – apakah ada kebaruan dan metodologi yang jelas?
 - Amati proses editorial – jangan percaya jika naskah diterima hanya dalam beberapa hari.
 - Waspadai email undangan massal – jurnal kredibel tidak akan membombardir penulis dengan ajakan publikasi.
 
Saya ingin menegaskan kembali: jurnal predator adalah ancaman nyata bagi dunia akademik. Mereka menciptakan ilusi publikasi ilmiah, tetapi tanpa integritas, tanpa rigor, dan tanpa kontribusi pengetahuan. Karena itu, saya mengajak semua pihak, akademisi, mahasiswa, hingga institusi pendidikan, untuk memahami ciri-cirinya, memeriksa reputasi jurnal sebelum mengirimkan naskah, dan tetap menjunjung tinggi etika akademik. Hanya dengan cara itu dunia akademik kita bisa tumbuh sehat, bermartabat, dan bebas dari jebakan jurnal predator.
